MENJADI diskursus menarik dan perhatian elite, terkait dengan putusan MK berkaitan dengan dikabulkannya permohonan uji materi tentang persyaratan menjadi capres dan cawapres yakni bukan lagi berkaitan dengan batas usia, MK berpendapat Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, pasal 169 Huruf q pada intinya MK berpendapat usia 40 tahun atau sepanjang dimaknai pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum.
Putusan MK telah mencerminkan putusan yang mewakili suara rakyat, dan generasi muda, karna pada prinsipnya dalam berdemokrasi kita memiliki hak yang sama, yaitu hak dipilih dan memilih, serta kita semua memiliki keudukan yang sama dalam kosntitusi jika dikaitkan dengan demokrasi.
Menarik dinamika tentang putusan MK ini karena tidak sedikit ada yang mengatasnamakan mendukung para kaum milenial ini, atau generasi muda ini, ikut terjun terlibat dalam politik.
Tetapi ketika putusan MK ini disahkan, beberapa ada yang berpendapat bahwa ini merupakan putusan yang bertujuan unutk melanggengkan politik dinasti. Bagaimana bisa dikatakan politik dinasti sedangkan jabatan ini dipilih melalui mekanisme Pemilhan Umum dan kehendak rakyat (the will of the people) dan memiliki batasan masa jabatan yakni dua kali dalam pemilihan umum artinya jabatan bukanlah dinasti politik.
Jika kita bicara dinasti politik secara holistik maka ada beberapa partai di Indonesia yang dimana partai tersebut berdinasti, jika kita mau melihat secara holistik, bukankah partai politik memiliki kekuasaan dan kewenangan penuh dalam mengusulkan calon kepala daerah baik pada tingkat daerah sampai pusat, bahkan mengusulkan capres dan cawapres.
Menurut saya tidaklah tepat jika putusan ini dikaitkan dengan politik dinasti tertentu karena bagaimanapun, yang mempunyai hak dan kewenangan penuh dalam mengusulkan capres dan cawapres adalah partai politik dan gabungan partai politik. Jadi apabila ada partai politik yang mengusulkan anak muda, maka ini bagian dari pepresentasi masyarakat dan generasi muda.
Saya berpandangan tepatlah MK memberikan putusan ini mungkin dari faktor sosioligis menurut saya jika yang dikabulkan ini batas usia capres dan cawapres yang semula dari usia 40 tahun menjadi 35 tahun, walaupun UU sebelum ini mensyaratkan batasan usia 35 tahun kemudian dirubah menjadi 40 tahun dengan berbagai dasar pertimbangan.
Maka tepatlah MK mengambil jalan tengah yaitu berusia 40 tahun, dan/atau pernah menjadi atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum (anggota DPR anggota DPD, anggota DPRD, Gubernur, Bupati, dan Walikota).
Jadi tingkat pembuktian kedewasaan pengalaman politik dalam memimpin rakyat dapat dibuktikan melalui pemilihan umum sesuai kehendak rakyat. Jika dikabulkan batas usia menjadi 35 tahun maka akan dipertanyakan juga apa yang menjadi dasar pertimbangan bahwa dia sudah dewasa secara politik walaupun semua ukuran ini bersifat relatif, maka yang paling tepat usia 40 tahun dan/atau pernah menjadi atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum dan diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Saya melihat ada segelintir orang yang mungkin tidak menginginkan generasi muda memiliki peran lebih untuk menjadi bagian terpenting bagi kemajuan bangsa dan negara ini. Memang terbukti baik dalam sejarah Indonesia bagaimana Sutan Sjahrir pada usianya yang masih 36 tahun, dia telah menjadi salah satu Perdana Menteri Indonesia. Bagaimana dikisahkan dalam Alquran tentang 10 pemuda pemberani dalam surat Al-Kahfi, banyak kisah-kisah kesuksesan anak muda dalam memimpin dan diberikan kesempatan dalam memimpin pasti akan memberikan perubahan.
Karena bagaimanapun data KPU RI membaca Generasi Z Usia 1995-2000-an 46.800.161 atau 22,85 persen, sedangkan generasi milenial 66.822.389 atau 33,60 persen, jika ditotal generasi milenial dan generasi Z maka 113.622.550 orang atau 56,18 persen, maka bisa dikatakan generasi muda memiliki jumlah dan pengaruh yang besar untuk berpartisipasi politik, dalam hal ini Pemilihan Umum.
Bahwa putusan hakim menuai pro dan kontra adalah hal yang wajar karena memang pada dasarnya putusan tidak dapat memuaskan semua pihak dan bahkan di kalangan hakim yang memutuspun dissenting opinion.
Sedikit catatan dari saya, agak kurang etis apabila Hakim Konstitusi disenttingnya mengarah kapada hal-hal yang subyektif. Tidak memberikan nalar hukum, apabila penalaran subyektif pribadi bukan nalar hukum lebih baik diutarakan di Rapat Permusyawartan Hakim, justru yang seperti ini memperlihatkan bahwa Hakim Konstitusi tersebut memiliki sarat kepentingan terhadap pengujian UU tersebut, karena kalah jumlah dalam memutuskan.
Menurut saya putusan ini tidak mengakomodir kepentingan kelompok tertentu, ini putusan mewakili suara rakyat, terutama kami generasi muda, dalam beberapa putusannya MK terbukti tetap berpegang teguh pada Konstitusi dan demokrasi. Terbukti hasil putusan sistem pemilu proporsional terbuka, bagaimana diisukan bahwa informasi hasil Rapat Permusyawartan Hakim bocor dan telah dikabulkannya sistem pemilu proporsional tertutup, terkadang ada pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, memberikan pendapat yang pendapatnya pun tidak dapat dipertenggungjawabkan ketika tidak benar.
Penulis:
Andi
Mahasiwa Magister Hukum Universitas Pamulang
Tulisan ini dibuat dalam rangka tugas kuliah.