MEGA proyek besutan PT Lippo Cikarang Tbk yakni Meikarta kembali mendapat sorotan dari berbagai media ternama. Proyek ini diterpa masalah sejak awal 2016, mulai dari kasus suap digugat vendor untuk pailit hingga ditagih konsumen karena apartemen belum juga terbangun. Nama Meikarta mencuat ketika ramainya berita Meikarta bermunculan di media massa.
Meikarta menyebut proyek ini mendapatkan izin untuk 350 hektare untuk proyek Orange County, kemudian izin diperluas hingga 500 hektare. Namun proyek ini memiliki persoalan dengan Pemprov Jawa Barat kala itu, pada Agustus 2017 sempat meminta Lippo Grup menghentikan sementara proyek karena belum mendapat rekomendasi dari Pemprov Jabar dimana Pemprov Jabar hanya memberi rekomendasi izin seluas 84,6 hektare untuk lahan proyek Meikarta.
Hal pertama yang mengguncang adalah digugat Pailit Vendor pada Mei 2018 dimana PT Mahkota Sentosa Utama(MSU), pengembang dari mega proyek Meikarta sekaligus anak usaha PT Lippo Cikarang Tbk, digugat pailit oleh dua vendornya PT Relys Trans Logistic dan PT Imperia Cipta Kreasi.
Inti dari pokok gugatan yakni menetapkan MSU dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara atau PKPU-S dengan segala akibat hukumnya. Selain itu para penggugat juga meminta majelis hakim untuk menetapkan sebanyak 6 orang pengurus dan kurator dalam proses PKPU MSU.
Direktur Komunikasi Lippo Group Danang Kemayan Jati mengakui kedua perusahaan tersebut adalah vendor dari Meikarta. Namun Lippo bisa menang melawan para penggugat. Pengadilan menolak gugatan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Perusahaan yang menjadi vendor mega proyek Meikarta. Penolakan tersebut karena tidak ada kontrak apapun di antara pihak yang menimbulkan hubungan hukum (utang piutang) antar kedua pihak.
Kasus yang kedua yakni perihal Kasus Suap Perizinan di waktu Oktober 2018 dimana Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan Operasi Tangkap Tangan OTT di Kabupaten Bekasi terkait proyek Meikarta. Ada 10 orang yang diamankan dalam OTT KPK. Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan membenarkan OTT terkait proyek Meikarta.
Ada beberapa pihak yang ditangkap KPK antara lain Bupati Bekasi, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Bekasi, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Pemkab Bekasi dan lainnya. Para pejabat pemkab Bekasi yang ditetapkan sebagai tersangka diduga menerima total duit Rp 7 miliar dari pihak pemberi.
Selain itu, KPK juga menangkap Direktur Operasional Lippo Grup Billy Sindoro setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek Meikarta.
Nah, sekarang membahas inti dari kondisi keuangan Grup Lippo. Kasus yang membelenggu apartemen Meikarta membuat kinerja keuangan Grup Lippo turut guncang.
PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) merupakan anak usaha PT Lippo Cikarang (LPCK). Adapun LPCK merupakan anak usaha dari PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR). Sejak mengembangkan Meikarta, kinerja keuangan Lippo Cikarang cenderung merosot. Pada akhir 2017 laba bersih perseroan turun 32,05% dibandingkan akhir 2016 menjadi Rp 366,77 miliar.
Pada periode itu Lippo baru saja meluncurkan Meikarta dan masif mengiklankan proyek tersebut. Proyek tersebut dengan jargon ‘Aku mau pindah ke Meikarta” itu menghabiskan biaya iklan mencapai Rp 1,7 triliun.
Pada 2018, Lippo memutuskan melepaskan sebagian sahamnya pada pengembang Meikarta, PT Mahkota Sentosa Utama. Lippo Cikarang melepas 50,28% sahamnya di MSU kepada perusahaan asing, yakni Hasdeen Holdings Ltd yang berbasis di Singapura pada Mei 2018.
Pengalihan saham kepemilikan MSU terjadi setelah lebih dari setahun Lippo mengalami berbagai persoalan serius mulai dari kasus suap perizinan hingga gugatan pailit oleh vendor maupun kontraktor pelaksana proyek Meikarta.
Berdasarkan laporan keuangan per 30 September 2022, LPCK mencatat kepemilikikan investasi pada MSU mencapai Rp 2,01 triliun. Adapun kepemilikan saham LPCK pada MSU masih tersisa 49,72%.
Setelah transaksi ini, laporan keuangan MSU tidak dikonsolidasikan lagi dalam laporan keuangan LPCK. Namun, proyek Meikarta tetap berada dalam naungan Grup Lippo. Dampak pelepasan saham MSU membuat LPCK mampu membukukan laba bersih pada akhir 2018 sebesar Rp 2,15 triliun atau naik 503% dari 2017.
Meski begitu, pada 2019, laba Lippo Cikarang terjun bebas hanya Rp 310,91 miliar atau anjlok 84,15% ketimbang tahun sebelumnya. Pada 2020, kinerja Lippo Cikarang mengalami kerugian makin membesar dengan rugi bersih sebesar Rp 3,65 triliun. Kemudian pada 2021, Lippo Cikarang kembali mencatatkan laba bersih Rp 185,32 miliar. Sedangkan sepanjang 2022, laba bersih Lippo Cikarang hingga kuartal tiga tercatat Rp 274,19 miliar.
Pencapaian itu lebih rendah 20,35% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan kinerja tak hanya dialami Lippo Cikarang. Induk usahanya, Lippo Karawaci juga mencatat rugi. Hingga kuartal tiga 2022, perusahaan merugi Rp 1,67 triliun atau melonjak 187,7% menjadi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 581,42 miliar.
Berdasarkan laporan keuangan, rugi membengkak karena pendapatan yang turun sebesar 13,6% per September 2022 menjadi Rp 10,54 triliun dari periode yang sama pada tahun sebelumnya sebesar Rp 12,20 triliun.
CEO LPKR John Riady menjelaskan kerugian perusahaan karena anjloknya pendapatan dari segmen real estate. Pendapatan dari segmen real estate tercatat turun 21,8% menjadi Rp 2,79 triliun akibat perubahan jadwal serah terima apartemen.
Penulis:
Dicky Febri Kurniawan
Mahasiswa Semester 3 Jurusan S1 Akuntansi
Universitas Pamulang
Tulisan ini dibuat dalam rangka tugas kuliah.