SALAH satu kebudayaan yang masih bertahan di masyarakat Sunda khususnya daerah Tasikmalaya adalah penggunaan jampe atau lebih dikenal dengan mantra yang merupakan hasil warisan yang diturunkan secara lisan.
Dengan menjalankan kearifan lokal dari nenek moyang merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadapnya, seperangkat nilai kehidupan (adat istiadat) yang dijalankan memiliki peranan dan nilai baik masing-masing.
Swaris Geriya dalam Sartini 2009, mengatakan bahwa kearifan lokal secara konseptual merupakan sebuah kebijaksanaan manusia yang berpedoman pada nilai-nilai, cara, dan perilaku atau etika yang bernilai baik dan mampu bertahan lama dalam masyarakatnya.
Kearifan lokal ini dipahami oleh masyarakat sebagai gagasan yang bernilai baik dan bersifat bijaksana yang diterapkan pula dalam kehidupan masyarakat. Proses pewarisan dan penggunaan jampe berjalan mengalir dan masih terus dijalankan.
Oleh karena itu dalam pewarisannya tidak terdapat bukti pewarisan berupa tulisan baik itu jampe yang ditulis dalam media kertas, kulit, batu, yang berupa buku maupun prasasti.
Jampe digunakan oleh masyarakat dengan berbagai tujuan, sebagai upaya untuk memohon perlindungan, kekuatan, dan diberikan kesembuhan dalam proses pengobatan.
Berdasarkan penggunaanya, jampe dikelompokan menjadi tiga jenis; pertama untuk mengobati sakit “sasalad”, kedua untuk mengobati sakit “kabadi”, dan yang ketiga adalah “jampe pamake”.
Sasalad adalah penyakit yang disebabkan oleh kejadian sehari-hari secara alamiah. Kabadi yaitu penyakit yang disebabkan karena adanya pengaruh-pengaruh dari unsur, kekuatan, atau entitas gaib dan padamelan kurang tarapti (perbuatan yang kurang teliti atau gegabah).
Sedangkan yang dimaksud jampe pamake adalah jampe yang dibacakan ketika akan memulai suatu pekerjaan atau kegiatan (Yusep, 2014). Seperti halnya yang dituturkan oleh Mimi warga masyarakat kampung Legoksari Tasikmalaya yang masih menjalankan tradisi jampe ini. “Tos turun temurun ti buyut, lamun aya kaperluan jeung butuh ubar panyakit mah sok make jampe”, kata Mimi.
Sejalan dengan pendapat Yusep mengenai tiga jenis jampe, Mimi menuturkan bahwa jampe “Sudah turun-temurun dari buyut, kalau ada keperluan dan butuh obat untuk penyakit, suka pakai jampe”. Konteks keperluan di sini dalam artian bahwa tradisi jampe yang digunakan dengan tujuan memohon perlindungan, memohon diberikan kekuatan, dan memohon akan kesembuhan dari penyakit yang diderita.
Seiring dengan perkembangan zaman, jampe yang masih bertahan digunakan oleh masyarakat Sunda yaitu jampe pengobatan. Ini disebabkan karena penggunaan bahasanya yang tidak terlalu rumit sehingga masih bisa dibaca dan dilafalkan oleh generasi di zaman yang sudah modern, lain halnya dengan jampi pamake dan jampi dengan penyakit berat yang harus melalui tukang jampi.
Penyakit ringan yang biasa dialami oleh anak dan diobati dengan mengucapkan jampe salah satunya yaitu perut kembung.
Penyakit ini disebabkan oleh kebiasaan buruk sehari-hari karena makan berlebihan, sembelit, dan gas berlebihan di perut. Dalam tradisi Sunda, Mimi menuturkan ada jampe yang diucapkan ketika anak kecil mengalami perut kembung. “Cakakak di leuweung, injuk talina, dihakan dibeuweung, hitut jadina, plong blos plong blong…”.
Jampe tersebut memiliki arti bahwa “Burung Cekakak di hutan, talinya ijuk, dimakan dikunyah tapi tidak ditelan, kentut jadinya, plong blos plong blong”. Pada jampe tersebut menggunakan Burung Cekakak yang dikenal mempunyai kicauan yang keras. Ini mengisyaratkan bahwa suara kentut yang terdengar akan sekeras suara dari Burung Cakakak.
Dalam pengobatannya, Mimi memijat perut anak menggunakan minyak kelapa sambil merapalkan jampe perut kembung tersebut.
Selain perut kembung, jampe pengobatan diucapkan ketika anak terjatuh dan tak jarang sampai menangis. Jampe pengobatan yang diucapkan untuk memar atau luka yang ringan, bukan untuk luka parah yang disebabkan terjatuh.
Mimi menuturkan bahwa masyarakat Tasikmalaya sudah terbiasa mengucapkan “Jampe harupat geura gede geura lumpat” ketika mencoba mengobati seorang anak yang sakit karena terjatuh sambil mengusap bagian tubuh yang sakit. Jampe tersebut memiliki arti bahwa “Jampe harupat cepat besar/dewasa cepat berlari” yang berfungsi sebagai jampe pengobatan terhadap sakit yang dirasakan oleh anak. Jampe harupat secara tidak langsung berfungsi sebagai do’a, hal tersebut dapat dilihat dari “geura gede geura lumpat” memiliki makna tersirat yang baik supaya menjadi manusia yang cepat dewasa/besar dalam pemikiran dan kesuksesan, cepat berlari dalam artian menjalani kehidupan di kemudian hari (Siti, 2021).
Fakta sebenarnya bahwa jampe harupat ini berfungsi untuk memberikan sugesti kepada anak supaya merasa nyaman dari yang semula terkejut atau menangis dan akan merasa sudah sembuh ketika bagian tubuh yang sakit diusap sambil merapalkan jampe tersebut.
Jampe pengobatan sebagai salah satu tradisi masyarakat Tasikmalaya secara tidak langsung membawa pengaruh yang baik untuk anak. Bahasa pada jampe yang diucapkan memiliki makna tersirat yang tertuju pada fungsi utama yakni sebagai do’a untuk diberikan kesembuhan. Jampe pengobatan diucapkan dengan maksud untuk memohon diberikan kesembuhan dari Allah. Dengan demikian, anak akan merasa nyaman dan akan tetap melestarikan jampe pengobatan sebagai salah satu tradisi Sunda.
Penulis:
Dilla Jukhru Pianisa
Mahasiswi Universitas Pamulang
Tulisan ini dibuat dalam rangka tugas kuliah.