SEBAGAI negara yang menganut bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah, negara Indonesia sangat kental menyandang gelar negara demokrasi, yang mana salah satu perwujudan utuh dari kedaulatan rakyat adalah melalui sarana Pemilihan Umum (Pemilu).
Peserta pemilu sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1 angka 10 PKPU Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Kampanye Pemilihan Umum, bahwa “peserta pemilu adalah partai politik untuk pemilu anggota DPR, anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, perseorangan untuk pemilu anggota DPD, dan pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden”.
Sebagaimana yang tertuang pada Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945 telah gamblang menyatakan bahwa “Kedaulatan negara berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, merupakan representasi penguasa negara adalah seluruh rakyat Indonesia, rakyatlah yang mempunyai kewenangan untuk dipenuhi segala haknya oleh negara demi kepentingan umum.
Tidak dapat dielakkan, pada setiap pesta demokrasi, partisipasi masyarakat menjadi komponen utama terselenggaranya pemilu guna melanjutkan estafet kepemimpinan menuju penggapaian cita ideal bangsa, dan pada proses pemilu inilah demokrasi mencoba disongsong secara maksimal.
Secara definitif, demokrasi diartikan sebagai sistem sosial yang menginginkan adanya rasa kesamaan (egaliter) dalam kehidupan bernegara, sehingga perlu dimaknai melalui sikap etis yang bersandar pada kemanusiaan.
Dewasa ini polarisasi terasa semakin kuat terjadi pada ekskalasi politik untuk mencapai kepentingan tertentu dalam perhelatan demokrasi. Apabila berkaca pada pemilu tahun 2019 yang sangat lekat dengan fenomena politik identitas membuktikan bahwa ruang publik politik masih diisi oleh persoalan yang presedennya tidak bersandar pada kepentingan bangsa, melainkan pada hal subjektif dan parsial.
Hal ini menjadi bagian kecil disamping persoalan-persoalan lain seperti black campaign, hate speech, money politic, nepotism, dan berbagai fenomena lain agaknya telah menjadi polemik laten di negara Indonesia beberapa dekade ke belakang.
Meskipun sejatinya hiruk-pikuk tersebut merupakan sisi lain dari konsekuensi demokrasi, namun seharusnya pendidikan politik untuk kemanusiaan dapat mencapai puncaknya di era milenium ini, mengingat telah cukup stabilnya peradaban dan akses terhadap pendidikan yang sudah terbuka seluas-luasnya. Tanpa politik yang sehat dan konstruktif, demokrasi hanya akan menjadi barang rusak yang tidak bermanfaat lagi bagi pemiliknya.
Maka berangkat dari fenomena tersebut, nampaknya pemilu tahun 2024 terindikasi akan menjadi momentum besar bagi elit politik memperebutkan kekuasaan atas ihwal kepentingan negara dan rakyat.
Para peserta pemilu sudah mulai gonjang-ganjing menunjukkan eksistensi dan valuesnya untuk merebut hati masyarakat dalam kepentingan politik. Goncangan inilah yang pada akhirnya akan berpotensi menimbulkan polarisasi keras baik antar partai politik, partisipan, maupun oknum-oknum lainnya yang saling tindih-menindih demi menduduki bangku paling atas di parlemen.
Polarisasi dapat terjadi pada dua tingkatan, pertama, polarisasi elit yang dalam hal ini melibatkan sekelompok penguasa yang memperjuangkan ideologi politik yang berbeda-beda yang dapat mempengaruhi proses pembuatan kebijakan sehingga memunculkan dinamika di partai politik dan parlemen. Kedua, polarisasi massa, hal ini terjadi di kalangan masyarakat umum yang terpecah menjadi beberapa kelompok yang berseberangan dalam pandangan politiknya, acapkali polarisasi ini berdampak pada terjadinya aksi-aksi masa dan konflik berkepanjangan.
Polarisasi politik sangat nyata berimplikasi pada rusaknya institusi demokrasi, mencacati proses pembuatan kebijakan, menurunkan kredibilitas partai politik, meningkatkan sikap intoleransi dan kekacauan di mayarakat. Tentu hal ini menjadi momok besar kemunduran suatu bangsa.
Maka dengan melihat urgensi tersebut, menjadi penting untuk digaungkan pembumian pendidikan etika dalam berpolitik. Pendidikan etika politik berfungsi untuk membantu mengejawantahkan ideologi negara yang luhur dalam realitas politik nyata, misalnya dengan merefleksikan inti/hakikat keadilan sosial dan bagaimana kekuasaan harus ditangani agar sesuai dengan martabat berkemanusiaan yang adil dan beradab.
Jika diartikan dalam pengertian praktis, pendidikan etika politik menghendaki agar masyarakat dapat memahami secara mendasar mengenai hak dan kewajibannya, tak luput dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 pada Pasal 1 angka 4 yang menyatakan bahwa “Pendidikan politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggungjawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara”. Oleh karenanya, wajib kiranya setiap warga negara memahami dan menerapkan etika politik tersebut.
Etika diangkat ke permukaan agar kepentingan-kepentingan yang berbeda dan mungkin saling bertengkar tidak saja dapat didamaikan, tetapi juga memikirkan agar proses perdamaian itu mampu memenuhi cita rasa norma-norma keadilan dan kemanusiaan. Sebab dengan etika politiklah kekuasaan dapat dikendalikan agar terhindar dari penyalahgunaan kekuasaan oleh institusi sebagai masalah fundamental dari teori-teori negara.
Untuk mencapai cita ideal bangsa Indonesia melalui perhelatan pemilu tahun 2024 mendatang, baik peserta pemilu maupun masyarakat umum harus mengedepankan etika politik sesuai dengan nilai-nilai luhur.
Ada kalanya masyarakat mempunyai satu pilihan dan ada pula kalanya masyarakat berbeda pilihan, namun lebih penting daripada itu, setiap calon pemimpin sudah semestinya bersandar pada tujuan yang sama, yakni untuk memajukan dan mensejahterakan bangsa, maka dari itu, siapapun yang terpilih harus saling dihormati dan ditopang untuk membangun kekuatan bersama membangun Indonesia terus lebih baik kedepannya.
Penulis:
Nita Amelya
Mahasiswi Universitas Pamulang Prodi PPKn
Tulisan ini dibuat dalam rangka tugas kuliah.