ISTILAH “Desa” di Indonesia pertama kali ditemukan oleh Mr. Herman Warner Muntinghe, seorang Belanda anggota Raad van Indie pada masa penjajahan kolonial Inggris, yang merupakan pembantu Gubernur Jenderal Inggris yang berkuasa pada tahun 1811 di Indonesia.
Dalam sebuah laporannya tertanggal 14 Juli 1817 kepada pemerintahnya disebutkan tentang adanya desa-desa di daerah-daerah pesisir utara Pulau Jawa. Dan di kemudian hari ditemukan juga desa-desa di kepulauan luar Jawa yang kurang lebih sama dengan desa yang ada di Jawa (Soetardjo, 1984:36). (M. Irwan Tahir, Jurnal Ilmu Pemerintahan IPDN (2012)).
Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 ayat 43 UU No. 23/2014).
Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 ayat 1 UU No. 6 Tahun 2014).
Secara tata bahasa, kata “desa” sendiri berasal dari bahasa India yakni “swadesi” yang berarti tempat asal, tempat tinggal, negeri asal, atau tanah leluhur yang merujuk pada satu kesatuan hidup, dengan satu kesatuan norma, serta memiliki batas yang jelas (Soetardjo, 1984 : 15, Yuliati, 2003 : 24).
Padanan kata “desa” dalam bahasa asing antara lain seperti dorp, dorpsgemeente, village, village community, rural area, rural society, dan sebagainya (Ndraha, 2010:154). Fakta empirik masa lalu di Indonesia dapat ditemui banyak kesatuan masyarakat dengan peristilahannya masing-masing seperti Dusun dan Marga bagi masyarakat Sumatera Selatan, Dati di Maluku, Nagari di Minang atau Wanua di Minahasa.
Pada daerah lain masyarakat setingkat desa juga memiliki berbagai istilah dan keunikan sendiri baik mata pencaharian maupun adat istiadatnya. (Lihat M. Irwan Taher. (2012))
Desa adalah merupakan bagian dari struktur pemerintahan yang paling rendah dari struktur kelembagaan negara yang tidak diatur secara tegas di dalam UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, akan tetapi diatur secara tersendiri dengan UU No. 6/2014 tentang Desa.
Sebagai organ pemerintah yang paling rendah namun dalam melaksanakan tugasnya desa memiliki peran yang sangat penting karena berhubungan langsung dengan masyarakat. Dalam sejarah pemerintahan di Indonesia, sesungguhnya keberadaan desa sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka walaupun dalam nama atau sebutan yang berbeda-beda. Artinya termasuk pada masa penjajahan yang begitu sangat lama, keberadaan desa secara natural atau turun temurun sudah ada.
Kemudian setelah Indonesia merdeka keberadaan desa mulai dikembangkan dengan membangun kelengkapan infra struktur dan tatanan organisasi pemerintahan desa. Hal mana dapat dilihat dengan upaya pemerintah memperlengkapi regulasi tentang desa, misalnya, dengan penetapan presiden yang mengatur tentang desa bahkan pada perkembangan selanjutnya dilengkapi dengan UU yang mengatur tentang desa.
Di dalam sejarah pengaturan tentang pemerintahan desa, dapat dilihat dengan ditetapkannya Undang-undang oleh pemerintah, misalnya : UU No. 1/1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. UU No. 16/1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.
Sejak keluarnya Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Tertib Hukum dan Perundang-undangan, maka dimulailah penertiban pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan kepada ketentuan UUD 1945. Termasuk di dalamnya penertiban tentang Pemerintahan Daerah yang di dalamnya mengatur desa. Misalnya lahirnya UU No. 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah diikuti dengan UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa.
Selanjutnya pada era reformasi telah diterbitkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan setelah dilakukan perubahan UUD 1945 diganti dengan UU No. 32/2004.
Atas usulan masyarakat pada akhirnya ketentuan yang mengatur tentang Desa dipisahkan dari ketentuan yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah, yaitu dengan lahirnya UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Sebagai organisasi pemerintahan, desa di dalamnya terdiri dari Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dan yang dibantu oleh perangkat Desa atau yang disebut dengan nama lain. (Pasal 25 UU No. 6/2014 ).
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya aparatur pemerintahan desa selain berpedoman kepada peraturan perundangan seperti UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa, pemerintahan desa juga berpedoman kepada peraturan-peraturan pelaksanaan misalnya : Peraturan Menteri, Peraturan Bupati dan peraturan lainnya.
![](https://tangselxpress.com/wp-content/uploads/2023/05/WhatsApp-Image-2023-05-31-at-10.58.24-e1685515082933.jpeg)
Karena itu agar pemerintahan desa mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakatnya sekaligus memberikan kepastian hukum dalam menjalankan tugasnya, Undang-Undang memberikan kewenangan kepada pemerintahan desa untuk membuat Peraturan Desa sebagaimana yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Selain itu sebagai ketentuan yang bersifat teknis pelaksanaannya, UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa telah mengatur mengatur tentang mekanisme pembuatan Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa, yang diatur dalam ketentuan sebagai berikut :
Pasal 8 Ayat 1 UU No. 12 tahun 2011, menyebutkan:
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, menyebutkan :
Pasal 69 Ayat 1:
Jenis peraturan di Desa terdiri atas Peraturan Desa, peraturan bersama Kepala Desa, dan peraturan Kepala Desa.
Pasal 69 Ayat 3
Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.
Permasalahan yang dapat dijadikan objek pembuatan peraturan desa yang paling urgen dan diperlukan adanya peraturan desa diantaranya adalah penetapan rencana anggaran belanja (RAB) desa sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan sebagai berikut :
Pasal 73 Ayat 1 :
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa terdiri atas bagian pendapatan, belanja, dan pembiayaan Desa.
Pasal 73 Ayat 2 :
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa diajukan oleh Kepala Desa dan dimusyawarahkan bersama Badan Permusyawaratan Desa.
Pasal 73 Ayat 3 :
Sesuai dengan hasil musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Desa menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa setiap tahun dengan Peraturan Desa.
itu sebagaimana disebutkan di dalam ketentuan UU No. 6/2014 tentang Desa, terdapat beberapa urusan desa yang sudah sangat urgen untuk dilengkapi dengan Peraturan Desa yang selama ini sering menjadi perhatian atau polemik masyarakat di desa, misalnya :
Peraturan desa tentang pengelolaan dan pengembangan aset desa
Peraturan desa tentang badan usaha milik desa
Peraturan desa tentang keterbukaan informasi/publik
Peraturan desa tentang pengelolaan lingkungan hidup
Dan peraturan desa lainnya.
Akan tetapi di dalam praktek di desa-desa pada umumnya, masih terdapat desa-desa yang belum membuat atau menyiapkan Peraturan Desa dalam mendukung pelayanan dan pembangunan desa sebagaimana yang diamatkan di dalam UUNo. 6/2014 tentang Desa. Bahkan terdapat beberapa desa yang sama sekali belum memiliki Peraturan Desa. Hal tersebut di dasarkan kepada hambatan-hambatan yang terjadi di desa-desa pada umumnya.
![](https://tangselxpress.com/wp-content/uploads/2023/05/WhatsApp-Image-2023-05-31-at-10.58.25.jpeg)
Hambatan dimaksud di antaranya :
Kurang fahamnya kepala desa dan aparatur pemerintahan desa dalam memahami peraturan-perundang-undangan, khususnya UU No. 6/2014 ttg Desa.
Terbatasnya sumber daya manusia di desa dalam memahami proses pembuatan Peraturan Desa (legal drafting), yang diatur dalam UU No. 6/2014 ttg Desa.
Belum terciptanya pemahaman yang sama dalam membangun rasa kebersamaan di desa antara Badan Permusyawaratan Desa dengan Kepala Desa. Hal tersebut di atas dapat dilihat dengan kejadian-kejadian beberapa desa yang kurang harmonisnya antara Badan Permusyawarah Desa dengan Kepala Desa.
Hal tersebut di atas, ditemukan atas dasar pengalaman penulis yang didasarkan kepada pelaksanaan kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) yang dilaksanakan oleh Program Studi Magister Hukum Universitas Pamulang di berbagai Desa tentang sosialisasi cara pembuatan Peraturan Desa (legal drafting). Misalnya kegiatan PKM yang dilaksanakan beberapa desa di antaranya :
Desa Kawunglarang, Kecamatan Rancah, Kabupaten Ciamis.
Desa Pedes Lohor, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal.
Desa Banyuresmi, Kecamatan Jatinagor, Kabupaten Sumedang dan beberapa desa lainnya.
Atas dasar itu maka sudah merupakan suatu keniscayaan yang harus dilakukan oleh pemerintah, perguruan tinggi dan seluruh komponen masyarakat untuk secara bersama-sama memberikan dorongan dan dukungan kepara aparatur pemerintahan di desa, agar amanat UU yang diatur dalam UU No. 6/2014 tentang Desa, khususnya yang mengatur tentang tata cara pembuatan Pearuran Desa di Desa, agar dapat dapat terlaksana dengan sebaik-baik untuk terciptanya kepastian hukum dalam melakukan tata kelola pemerintahan di desa, dapat berjalan dengan baik (Good Governance) dan pada akhirnya dengan keberadaan Peraturan Desa akan mampu memberikan kesejahteran yang sebaik-baiknya kepada masyarakat di Desa.
Penulis:
Dr. Yoyon M. Darusman., S.H., M.M
Dosen Pascasarjana Universitas Pamulang