TANGSELXPRESS – Tim Hukum dan Advokasi DPP PKS sebagai Pihak Terkait menyerahkan Kesimpulan Sidang terhadap Permohonan Pengujian Materiil Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan terkait sistem Pemilihan Umum, pada Selasa (30/5/2023).
Wakil Sekretaris Jenderal Hukum dan Advokasi DPP PKS Zainuddin Paru menjelaskan, pemohon tidak memiliki hak konstitusional dalam pengujian undang-undang.
“Pemohon tidak memiliki legal standing. Pihak yang memiliki hak konstitusional untuk mengajukan permohonan pengujian UU a quo adalah Partai Politik sebagai pemegang Hak Eksklusif dari Pasal 22E Ayat (3),” ucap Zainuddin seperti dikutip dari laman PKS.
Menurut Zainuddin, para pemohon berkedudukan hukum sebagai perseorangan atau kelompok yang tidak mewakili partai politik. Maka dari itu, hak dan kewenangan konstitusional para pemohon tidak dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujiannya.
“Hal ini karena Partai Politik yang mengalami dampak secara langsung dengan perubahan sistem pemilihan baik itu proporsional terbuka maupun proporsional tertutup. Oleh karenanya, Pihak Terkait DPP PKS memohon agar Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima, Niet Ontvankelijke Verklaard (NO),” ujarnya.
Lebih lanjut, Zainudin menjelaskan bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan di hadapan Mahkamah menunjukkan bahwa Pemohon yang mengajukan Permohonan dengan kedudukan hukum sebagai perseorangan/kelompok, atau tidak mewakili Partai Politik.
Selain itu sebagai Pihak terkait, DPP PKS ungkap Zainuddin Paru memilih untuk mempertahankan sistem proporsional terbuka bukan hanya mengacu pada Putusan MK Nomor 22-24/PUU-VI/2008 dengan semua alasan dan argumentasinya. Akan tetapi juga karena menyerap aspirasi masyarakat luas yang mendukung diterapkannya sistem proporsional terbuka.
“PKS menyerap aspirasi masyarakat luas yang mendukung diterapkannya sistem proporsional terbuka dibandingkan dengan sistem proporsional tertutup, seperti: reifikasi politik, mendekatkan pemilih terhadap wakil rakyat sekaligus memudahkan pengawasan rakyat kepada wakilnya, dan keterbukaan nama wakil pengganti bila ada recall,” tutur Zainuddin.
“Selain itu, Pasal 22E ayat (6) UUD NRI Tahun 1945 tegas mengamanatkan pengaturan Pemilu diatur oleh pembentuk UU (open legal policy),” sambungnya.
Lebih lanjut, Zainuddin meminta agar Mahkamah Konstitusi menolak seluruh permohonan yang diajukan oleh pemohon dikarenakan cacat formil dan masih terdapat banyak kekurangan.
“Berdasarkan hal di atas Pihak Terkait DPP PKS menyatakan Permohonan Pemohon memiliki cacat formil. Oleh karenanya secara ex officio,” jelasnya.
“MK sepatutnya meminta Pemohon mencabut Permohonannya sebagaimana Mahkamah telah meminta Pemohon pada perkara Uji Materi UU Ibu kota Negara pada Perkara Nomor 66/PUU-XX/2022, atau setidak-tidaknya Mahkamah menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima, Niet Ontvankelijke Verklaard (NO),” tambahnya.