TANGSELXPRESS – Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai sulit untuk mengabulkan permohonan uji materi sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup.
Anggota DPR RI dari Fraksi Partai NasDem Subardi mengatakan, MK telah menguatkan sistem terbuka pada tahun 2008, sehingga secara yuridis MK tidak mungkin mengubah sistem yang dikuatkan dari putusannya sendiri. Apalagi, putusan MK merupakan putusan final dan mengikat.
“Proporsional terbuka yang berlaku hingga saat ini telah dikuatkan oleh putusan MK tanggal 23 Desember 2008. Saat itu MK menyempurnakan sistem terbuka dengan perhitungan suara terbanyak. Artinya, MK sudah menguatkan sistem terbuka. Jadi secara yuridis MK sulit mengubah sistem ini,” jelas Subardi seperti dikutip dari laman Partai NasDem, Selasa (30/5).
Dalam sejarahnya, MK belum pernah menganulir putusan mereka sendiri. Beberapa putusan MK seperti masa jabatan presiden, ambang batas parlemen dan presiden, telah berkali-kali ditolak MK, sekalipun diajukan dengan alasan berbeda-beda.
“MK belum pernah menganulir putusannya terdahulu. Begitu juga dengan putusan lain, misalnya ambang batas presiden yang berkali-kali ditolak MK. Maka seharusnya sistem pemilu terbuka tidak dianulir,” tandasnya.
Subardi berpendapat seharusnya MK memutus permohonan ini dengan jenis putusan ‘ditolak.’ Jenis putusan ini mengatur bahwa undang-undang yang dimaksud tidak bertentangan dengan UUD. Hal ini bermakna sistem terbuka yang sudah dikuatkan oleh putusan MK sejak 2009 merupakan penyempurnaan dari sistem pemilu sebelumnya.
“Sistem terbuka ini sudah diputus MK. Artinya sudah konstitusional. Maka seharusnya permohonannya ditolak. Jadi, bila MK mengabulkan permohonan ini sama saja mengacaukan tatanan pemilu yang sudah berjalan sejak 2009,” pungkasnya.
Diketahui, MK saat ini tengah menguji permohonan judicial review terhadap Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu. Permohonan dengan nomor perkara 114/PPU-XX/2022 diajukan pada 14 November 2022. Para pemohon berharap MK memutuskan sistem pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup atau coblos partai. Begitu pun dengan perolehan kursi ditentukan berdasarkan nomor urut caleg, bukan suara terbanyak.