TANGSELXPRESS- The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), melakukan audiensi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) yang diselenggarakan secara daring terkait hasil penelitian TII tentang “Partisipasi Perempuan dalam Program Perhutanan Sosial”.
TII bekerja sama dengan Yayasan Almisbat dalam melakukan penelitian yang didukung oleh Pemerintah Australia melalui Skema Hibah Alumni, yang diadministrasikan oleh Australia Awards in Indonesia.
Pada audiensi tersebut, Adinda Tenriangke Muchtar, Direktur Eksekutif TII memaparkan sejumlah tantangan terkait partisipasi perempuan dalam Program Perhutanan Sosial, mulai dari prosedur birokrasi untuk pendaftaraan kepesertaan, norma di kelompok tani hutan (KTH), budaya patriarki, hingga persoalan pendamping Program Perhutanan Sosial yang belum berperspektif gender.
“Dari hasil penelitian kami di Kabupaten Garut, kami menemukan beberapa persoalan terkait partisipasi perempuan, seperti budaya patriarki yang mengakar, mayoritas pengelolaan hutan yang masih didominasi oleh laki-laki, adanya upah petani hutan perempuan yang lebih kecil daripada laki-laki, atupun tidak semua pendamping Program Perhutanan Sosial memiliki perspektif gender,” jelas Adinda.
Adinda juga menjelaskan bahwa fakta di Kabupaten Garut memperlihatkan bahwa keterlibatan perempuan tidak sampai 10 persen. Lebih lanjut, lebih banyak laki-laki yang tercatat untuk mendapat akses pengelolaan Perhutanan Sosial.
“Yang bisa mendapatkan SK Perhutanan Sosial ini adalah yang terdaftar di KTH. Sementara, keanggotaan KTH didasarkan pada Kartu Keluarga, yang notabene merujuk pada laki-laki sebagai Kepala Keluarga. Hal ini pula yang membuat KTH didominasi oleh laki-laki. Ini menjadi salah satu tantangan bagi partisipasi perempuan dalam program ini,” tambah Adinda.
Merujuk pada hasil penelitian TII, Eko Novi Ariyanti, Asisten Deputi Pengarusutamaan Gender (PUG) Bidang Sosial Budaya, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) memberikan beberapa tanggapannya terkait hasil penelitian tersebut, khususnya pada bagian rekomendasi.
“Dalam proses pengelolaan hutan misalnya, perempuan perlu untuk dilibatkan dalam proses perencanaan. Selain itu, peningkatan kapasitas perempuan juga menjadi penting dengan memahami kebutuhan perempuan. Hal inilah yang membuat mengapa perempuan perlu untuk ikuts serta dan terlibat aktif di KTH,” papar Eko Novi Ariyanti.
Dalam kesempatan tersebut, Eko Novi Ariyanti juga memaparkan akan pentingnya data terpilah gender. Hal ini untuk melihat fakta di lapangan terkait jumlah laki-laki dan perempuan yang menerima manfaat dari Program Perhutanan Sosial. Lebih lanjut, poin penting untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam Program Perhutanan Sosial adalah dengan berkolaborasi dengan semua pihak terkait.
“KLHK dalam hal ini tidak bisa sendiri dan perlu untuk berkolaborasi dengan semua pihak terkait. KemenPPPA yang melihat pengarusutamaan gender, serta pentingnya pemberdayaan dan partisipasi perempuan dalam berbagai bidang sebagai tugasnya, juga akan memanfaatkan hasil penelitian TII ini untuk didorong ke Kementerian/Lembaga (K/L) terkait, terutama untuk menindaklanjutinya lewat program peningkatan kapasitas perempuan, kesadaran gender beragam an pihak baik pemerintah maupun masyarakat, serta menyebarkan hasil kajian ini melalui Divisi Hukum dan Humas KemenPPPA. KemenPPPA juga akan memanfaatkan kajian TII ini untuk didorong ke K/L terkait, seperti KLHK dan Kementerian Desa dan PDTT, terutama dalam kaitannya dengan pengarusutamaan gender dalam Program Perhutanan Sosial,” jelas Eko Novi Ariyanti.
Comments 1