TANGSELXPRESS – Nama Aria Wangsakara menjadi salah satu dari nama empat tokoh pejuang asal Banten yang ditetapkan Presiden Joko Widodo atau Jokowi melalui Keputusan Presiden No 109/TK/2021 tentang Penganugerahan Pahlawan Nasional.
Dari empat tokoh pejuang Banten yang sudah memperoleh gelar pahlawan nasional adalah Sultan Ageng Tirtayasa mendapat gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1970, Syafruddin Prawiranegara memdapat gelar Pahlawan pada tahun 2015, Brigjen KH Syam’un mendapat gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2018 dan Aria Wangsakara mendapat gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2021, Rabu 9 November 2022.
Raden Aria Wangsakara atau Raden Aria Wangsaraja pun memiliki nama lain yakni Raden Lenyep merupakan dari garis keturunan ayah merupakan putera dari Pangeran Wiraraja I bin Prabu Geusan Ulun atau Pangeran Angkawijaya Sumedang, yang lahir pada sekitar tahun 1615-an.
Merilis dari berbagai sumber, berikut silsilah lengkapnya adalah Raden Aria Wangsakara bin Pangeran Wiraraja I (Darmawangi Sumedang) bin Prabu Geusen Ulun (Dayeuh Luhur Sumedang) bin Pangeran Santri (Pangeran Kusumahdin atau I bin Pangeran Pamelakaran (Gagambiran Cirebon) bin Pangeran Panjunan (Gunung Jati Cirebon) bin Syeikh Datuk Kahfi bin Syeikh Datuk Ahmad (Negeri Sembilan Malaysia) bin Syeikh Datuk Isa (Malaka).
Pangeran Aria Wangsakara atau dikenal juga dengan nama Kiayi Wangsaraja atau dikenal Raden Lenyep merupakan tangan kanan Sultan Abul Mafakhir di Kesultanan Banten. Berbagai masalah kesultanan selalu dibicarakan terlebih dahulu dengan Pangeran Aria Wangsakara.
Bahkan Pangeran Aria Wangsakara dipercaya menjadi pemimpin duta Banten ke Makkah untuk menjemput piagam pengangkatan Sultan Banten dari Khalifah Utsmaniyah Turki. Dalam rombongannya, dikabarkan ikut serta pula putra mahkota Pangeran Abul Ma’ali Ahmad.
Sepak terjang Pangeran Aria Wangsakara melawan Penjajah Belanda juga tercatat dalam berbagai literatur sejarah. Terlebih, Pangeran Aria Wangsakara menjadi tokoh yang dianggap berbahaya bagi Belanda, karena aktif menyebarkan agama Islam.
Meskipun demikian, Pangeran Aria Wangsakara terus berjuang menjaga wilayahnya dengan mendirikan sebuah pesantren di Kawasan Grendeng, Karawaci. Perjuangan Raden Aria Wangsakara membuahkan hasil lantaran VOC selalu kegagalan dalam merebut kekuasaan wilayah tersebut.
Saat perang pecah anatara Kesultanan Banten melawan VOC di kawasan Ciledug Tangerang pada 1662 silam, Aria Wangsakara saat itu menapaki usia muda yang tetap semangat bersama pasukan Sultan Ageng Tirtayasa.
Namun, nahas dalam peperangan itu Aria Wangsakara gugur. Aria Wangsakara pun dimakamkan di Desa Lengkong Kiyai, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang.
Informasi yang dihimpun dari berbagai sumber menjelaskan, bahwa Raden Aria Wangsakara adalah seorang ulama, pejuang, dan pendiri Tangerang. Dalam sejumlah literatur yang bercerita tentang Babad Tangerang dan Babad Banten, Aria Wangsakara merupakan keturunan Raja Sumedang Larang, Sultan Syarif Abdulrohman.
Bersama dua kerabatnya, yakni Aria Santika dan Aria Yuda Negara, saat itu Aria Wangsakara lari ke Tangerang karena tidak setuju dengan saudara kandungnya yang justri ikut berpihak kepada VOC.
Dalam pelariannya itu, Aria Wangsakara kemudian memilih menetap di tepian Sungai Cisadane. Aria Wangsakara diberi kepercayaan oleh Sultan Maulana Yusuf, pemimpin Kesultanan Banten kala itu, untuk menjaga wilayah yang kini dikenal sebagai Tangerang, khususnya wilayah Lengkong, dari pendudukan VOC.
Sehari-hari, Aria Wangsakara yang juga pernah didapuk sebagai penasihat Kerajaan Mataram menyebarkan ajaran Islam. Namun, aktivitas Aria Wangsakara menyebarkan ajaran Islam mulai tercium oleh VOC pada tahun 1652 – 1653.
Karena dianggap membahayakan kekuasaan, VOC mendirikan benteng di sebelah timur Sungai Cisadane, persis berseberangan dengan wilayah kekuasaan Wangsakara. VOC pun sampai memprovokasi dan menakuti warga Lengkong Kyai dengan mengarahkan tembakan meriam ke wilayah kekuasaan Wangsakara.
Provokasi itulah yang kemudian memicu pertempuran antara penjajah dan rakyat Tangerang. Kegigihan rakyat di bawah kepemimpinan Raden Aria Wangsakara yang melakukan pertempuran selama tujuh bulan berturut-turut itupun membuahkan hasil.