TANGSELXPRESS – Catatan kelam kecelakaan kereta Trgaedi Bintaro. Berdasarkan catatan wikipedia, kecelakaan kereta head to head terjadi antara KA 225 dengan KA 220 di Pondok Betung, pada tanggal 19 Oktober 1987 silam.
Melansir catatan wikipedia, kronologi kecelakaan itu berawal ketika KA 225 ditarik lokomotif BB306 16 dengan Slamet Suradio sebagai masinis, Soleh sebagai asisten masinis, dan Adung Syafei sebagai kondektur.
Sementara itu, KA 220 ditarik lokomotif BB303 16 dan dimasinisi oleh Amung Sunarya, dengan asistennya, Mujiono, Rabu 19 Oktober 2022.
Berdasarkan gapeka yang berlaku saat itu, KA 225 dijadwalkan tiba di Stasiun Sudimara pada pukul 06.40 untuk bersilang dengan KA 220 pada pukul 06.49.
Pada kenyataannya, KA 225 terlambat 5 menit. Pada saat itu emplasemen Stasiun Sudimara yang memiliki tiga jalur telah ditafsirkan penuh dan tidak dapat menerima persilangan KA karena:
1. jalur 1 dalam kondisi buruk dan hanya dipakai untuk langsiran dan sepur simpan,
2. jalur 2 berisi KA barang 1035,
3. jalur 3 berisi KA 225 yang berhenti.
Karena Stasiun Sudimara sudah tidak dapat menerima persilangan antarkereta api, maka KA 225 harus meninggalkan Stasiun Sudimara untuk berhenti lagi di stasiun berikutnya, Kebayoran. Saat itu dalam kondisi jalur masih tunggal dan tidak memiliki perhentian di antara keduanya.
Sesuai dengan peraturan dinas, petugas Pengatur Perjalanan Kereta Api (PPKA) Sudimara wajib menelepon PPKA Kebayoran untuk meminta izin memindahkan tempat persilangan dan mengirimkan Surat Pemindahan Tempat Persilangan (PTP) yang harus diserahkan langsung ke masinis dan kondektur KA 225.151
Namun sayangnya, Surat PTP itu diserahkan tanpa memberikan izin terlebih dahulu kepada PPKA Kebayoran. Bahkan PTP itu dikirimkan tidak sesuai prosedur karena diserahkan melalui seorang petugas pelayanan kereta api (PLKA) baru kemudian diserahkan kepada masinis dan kondektur KA 225.
Barulah setelah itu, PPKA Sudimara menelepon ke PPKA Kebayoran bernama Mad Ali untuk meminta izin pindah tempat persilangan. Mad Ali menjawab, “Gampang, nanti diatur.” Pagi itu, terjadi pergiliran PPKA dari shift malam ke shift pagi.
Saat serah terima Shift tersebut, Mad Ali yang merupakan PPKA shift malam memberi tahu PPKA shift pagi bernama Umriyadi, bahwa KA 251, 225, dan 1035 belum tiba di Stasiun Kebayoran. KA 251 sedang melaju ke arah Kebayoran untuk bersilang dengan KA 220.
Begitu KA 251 berhenti di Kebayoran, Umriyadi meminta izin memberangkatkan KA 220 ke PPKA Sudimara bernama Djamhari. Namun, Djamhari menjawab, “Tunggu aman saya, saya lagi sibuk!”.
Seharusnya sesuai prosedur yang ada, Djamhari harus menyatakan menolak memberikan izin keberangkatan bagi KA 220 dan mengabarkan bahwa ada kereta api yang harus berangkat dari Sudimara ke Kebayoran sesuai jadwal.
Dalam situasi Djamhari bingung, KA 225 mulai dipadati penumpang, serta banyak yang naik di lokomotif. Begitu komunikasi antar-PPKA ditutup, Umriyadi justru memberangkatkan KA 220 dengan asumsi bahwa persilangan KA 225 tetap dilakukan di Sudimara.
Agar meyakinkan, Umriyadi menelepon ke Djamhari bahwa KA 220 sudah berangkat dari Stasiun Kebayoran. Padahal PTP sudah telanjur diberikan kepada masinis dan kondektur KA 225.
Dengan kebingungan tersebut, Djamhari mengakali masalah ini dengan melangsir KA 225 dari jalur 3 kejalur 1 Stasiun Sudimara.
Akhirnya Djamhari memerintahkan seorang petugas harian stasiun untuk melangsir. Perihal langsiran tersebut harus ditulis oleh PPKA dalam laporan harian masinis serta menjelaskannya secara lisan.
Petugas yang disuruh Djamhari itu pun dengan tangkas mengambil bendera merah dan slompret. Saat akan dilangsir, masinis tidak dapat melihat semboyan yang diberikan, karena pandangan terhalang penumpang.
Sebelum petugas itu mencapai kereta kira-kira 7 m, tiba-tiba kereta mulai bergerak tanpa perintah slompret, dan petugas stasiun berusaha menghentikan KA 225 dengan slompret tetapi usahanya sia-sia.
Kondektur pun mencoba masuk ke dalam kereta tersebut tetapi tidak memerintahkan untuk menghentikan kereta.
Petugas stasiun itu pun melapor ke Djamhari bahwa KA 225 sudah berangkat tanpa izin. Dengan cepat Djamhari menggerakkan tuas sinyal masuk pihak Kebayoran tetapi tidak berhasil menghentikan kereta api.
Djamhari pun berlari di tengah rel sembari mengibar-ngibarkan bendera merah ke arah KA 225 tetapi gagal menghentikan kereta. Djamhari pun akhirnya kembali ke Stasiun Sudimara dalam keadaan pingsan.
Tiba-tiba, masinis 225 terkejut melihat KA 220 telah berada di depan mata. Meski sudah menarik tuas rem bahaya, tabrakan tak terhindarkan. Tabrakan ini terjadi pada tikungan S, km 174252.
Total kerugian material yang diketahui berdasarkan laporan akhir PJKA tersebut adalah Rp1,9 miliar. Korban tewas 139 orang dengan 72 tewas di tempat dan sisanya meninggal sekarat.
Dari 139 korban tewas, 113 di antaranya sudah teridentifikasi. Total 254 luka-luka dengan rincian 170 orang dirawat di rumah sakit dan 84 orang luka ringan.
Akibat peristiwa kecelakaan kereta Tragedi Bintaro, Slamet Suradio divonis hukuman 5 tahun penjara dan harus kehilangan pekerjaannya sebagai masinis. Dia ditahan di Lapas Cipinang dan bebas pada tahun 1993.
Sejak saat itu, Slamet Suradio sempat hanya apel di kantornya karena sudah dibebastugaskan.
Pada tahun 1994 ia dipecat dari jabatannya sebagai masinis, kemudian Nomor Induk Pegawai Perkeretaapiannya 120035237 dicabut pada tahun 1996 oleh Departemen Perhubungan Indonesia. Ia pun tidak mendapat uang pensiun.
Nasib yang serupa juga menimpa Adung Syafei, kondektur KA 225. Syafei harus mendekam di penjara selama 2,5 tahun. Sedangkan PPKA Djamhari dan Umriyadi dihukum 10 bulan penjara.
—
Sumber: wikipedia. Foto: Instagram Tragedi Bintaro.